Halaman

find here

Rabu, 19 Januari 2011

makalah ekonomi

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Krisis ekonomi atau yang sering disebut dengan nama krisis moneter merupakan suatu peristiwa atau kondisi menurunya ekonomi suatu Negara. Semua Negara praktis pernah mengalami yang namanya krisis dalam perekonomian negaranya. Karena krisis merupakan kejadian yang simultan dan memiliki effek yang akan menyebar keberbagai Negara. Banyak yang menyebutkan bahwa Krisis moneter merupakan hasil dari ekonomi kapitalis yang sepenuhnya bergantung pada sistem pasar yang ada. Akibatnya pasar tidak terkendali dan mengakibatkan terjadinya krisis. Krisis ekonomi dunia pernah terjadi pada tahun 1930 silam atau yang lebih dikenal dengan The Great Depression yang saat itu ekonomi masih dikuasai kapitalis dimana semua kegiatan perekonomian diserahkan langsung kepada mekanisme pasar. Kemudian setelah kejadian tahun 1930 tersebut ekonomi berusaha diperbaiki dengan tidak sepenuhnya memakai sistem kapitalis murni dalam perekonomian suatu Negara.

Untuk indonesia sendiri krisis ekonomi atau krisis moneter bukanlah hal baru karena indonesia terhitung telah mengalami 2 kali krisis yang melanda perekonomiannya. Yang pertama adalah krisis moneter tahun 1998 yang melanda nagara-negara Asia Tenggara membuat ekonomi indonesia benar-benar kolaps hingga membuat pertumbuhan ekonomi indonesia saat itu menjadi minus(-), kurs rupiah melemah terhadap mata uang asing, adanya rush terhadap perbankan tanah air. Hal ini tentu akan merembet kesektor lainnya seperti berkurangnya investasi, dan banyak industri-industri yang bangkrut sehingga menimbulkan angka pengangguran yang sangat tinggi, ditambah lagi dengan angka inflasi yang mencapai Hiperinflasi.

Kejadian ini membuat ekonomi indonesia hancur yang pada awalnya indonesia merupakan Negara yang ekonominya paling tangguh di asia tenggara menjadi tidak berkutik akibat krisis tahun 1998. Industri indonesia yang sudah mulai memasuki tahap lepas landas harus kembali mengulang dari awal. Krisis ini sendiri berawal dari menurunya nilai mata uang Thailand yang kemudian direspon negative oleh ekonomi Negara-negara lainnya. Banyak Negara yang kemudian mengeluarkan kebijakkan untuk keluar dari krisis ini. Begitu juga dengan indonesia yang mengeluarkan kebijakkan-kebijakkan untuk mengatasinya seperti kebijakkan fiscal dan kebijakkkan moneter serta kebijakan lainnya.

Bila dibandingkan Indonesia merupakan Negara Asia Tenggara yang memakan waktu yang lama untuk melakukan perbaikkan dan rehabilitasi terhadap perekonomiannya akibat krisis ekonomi 1998. Hal ini terbukti dengan pertumbuhan ekonomi indonesia yang masih dibawah Negara-negara tetangga lainnya serta nilai kurs rupiah yang enggan turun lagi ke posisi awal. Namun belum lagi indonesia berbenah dari goncangan krisis moneter yang melanda perekonomian pada 1998, kembali Indonesia dikejutkan dengan terjadinya krisis keuangan yang melanda Amerika Serikat pada 2008 silam.

Hal ini tentu membuat shock kalangan ekonomi indonesia karena secara langsung dan tidak langsung indonesia juga ikut merasakan dampaknya bahkan lebih besar daripada yang diderita olah AS sendiri. Berbagai kebijakkan untuk menanggulangi krisis ini agar tidak terulang seperti tahun 1998 dilakukan mulai dengan menaikkan tingkat suku bunga bank, pemberian bail out, menaikkan jaminan terhadap tabungan, hingga menjalankan kebijakkan-kebijakkan lainnya dibidang ekonomi.

Berdasarkan uraian diatas maka untuk lebih mengetahui secara rinci bagaimana krisis moneter bisa terjadi dan apa yang menyebabkan serta kebijakkan-kebijjakn apa yang dilakukan indonesia dalam menanggulangi krisis moneter tersebut.

Moneter Indonesia Tahun 1998 Dan 2008 Serta Kebijakkan Dalam Mengatasinya´

Suatu pertanyaan besar yang ada dalam benak kita semua tentang kondisi perekonomian indonesia yang selalu mengalami krisis. Dalam satu dekade ini saja perekonomian indonesia telah diguncang krisis sebanyak 2 kali, yaitu krisis ekonomi tahun 1998 dan krisis keauangan global yang terjadi pada tahun 2008. Yang menjadi pertanyaan saat ini masih cukup kuatkan perekonomian kita untuk menghadapi pola perekonomian dunia saat ini?. Mengapa demikian, karena saat ini perekonomian indonesia masih sangat tergantung dengan ekonomi global khususnya negara-negara maju.

Hal ini bisa dibuktikan dengan bila perekonomian dunia mengalami kemajuan akan dikuti pula dengan kemajuan ekonomi indonesia, namun bila suatu ekonomi dunia mengalami krisis maka indonesia adalah salah satu negara yang paling parah mengalaminya. Seperti krisis yang selama ini terjadi semua penyebabnya berasal dari luar dan tidak ada yang berasal dari dalam perekonomian indonesia sendiri.

1.2. Perumusan Masalah

Krisis moneter merupakan bencana terhadap perekonomian suatu negara. Karena akibat krisis tersebut membuat ekonomi suatu negara mengalami penurunan atau depresiasi. Bila tidak dilakukan langkah-langkah pencegahan dan penanggulangan dalam jangka panjang akan membuat ekonomi negara tidak tumbuh. Sehimgga diperlukan kebijakkan-kebijakkan untu mengatasi krisis moneter tersebut.

Berdasarkan hal tersebut maka secara spesifik permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini Adalah sebagai berikut:

a) Apakah penyebab utama terjadinya krisis moneter tahun1998 dan 2008 dan bagaimana perbedaan antara keduanya?

b) Kebijakkan dan langkah apa yang diambil Indonesia dalam menghadapi dan menanggulangi krisis ekonomi pada tahun 1998 dan 2008?

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Beda Krisis 1997 dari Krisis Global

Krisis yang melanda bangsa Indonesia, menjadi awal terpuruknya sebuah negara dengan kekayaan alam yang melimpah ini. Dari awal 1998, sejak era orde baru mulai terlihat kebusukannya Indonesia terus mengalami kemerosotan, terutama dalam bidang ekonomi. Nilai tukar semakin melemah, inflasi tak terkendali, juga pertumbuhan ekonomi yang kurang berkembang di negara ini. Pada Juni 1997, Indonesia terlihat jauh dari krisis.

Tidak seperti Thailand, Indonesia memiliki inflasi yang rendah, perdagangan surplus lebih dari 900 juta dolar, persediaan mata uang luar yang besar, lebih dari 20 milyar dolar, dan sektor bank yang baik. Tapi banyak perusahaan Indonesia banyak meminjam dolar AS. Di tahun berikut, ketika rupiah menguat terhadap dolar, praktisi ini telah bekerja baik untuk perusahaan tersebut ² level efektifitas hutang mereka dan biaya finansial telah berkurang pada saat harga mata uang lokal meningkat.

Pada Juli, Thailand megambangkan baht, Otoritas Moneter Indonesia melebarkan jalur perdagangan dari 8 persen ke 12 persen. Rupiah mulai terserang kuat di Agustus. Pada 14 Agustus 1997, pertukaran floating teratur ditukar dengan pertukaran floating-bebas. Rupiah jatuh lebih dalam. IMF datang dengan paket bantuan 23 milyar dolar, tapi rupiah jatuh lebih dalam lagi karena ketakutan dari hutang perusahaan, penjualan rupiah, permintaan dolar yang kuat. Rupiah dan Bursa Saham Jakarta menyentuh titik terendah pada bulan September.

Meskipun krisis rupiah dimulai pada Juli dan Agustus, krisis ini menguat pada November ketika efek dari devaluasi di musim panas muncul di neraca perusahaan. Perusahaan yang meminjam dalam dolar harus menghadapi biaya yang lebih besar yang disebabkan oleh penurunan rupiah, dan banyak yang bereaksi dengan membeli dolar, yaitu: menjual rupiah, menurunkan harga rupiah lebih jauh lagi.

Belum lagi sepenuhnya sembuh dari krisis sebelumnya perekonomian indonesia mengalami krisis kembali. Pada tulisan-tulisan saya sebelumnya, telah saya jelaskan bagaimana awal terjadinya krisis finansial global tersebut (baca: Andaikan Bank Tidak Ikut Bermain). Krisis finansial yang bermula dari kemelut kredit sektor perumahan di Amerika ini, tidak disangka-sangka akan memiliki dampak yang begitu luas bagi perekonomian global.

Krisis yang terjadi saat ini dianggap sebagai kehancuran dari sistem ekonomi pasar atau dikenal dengan sistem kapitalis. Terang saja, sebagian besar negara-negara yang masuk ke dalam jurang resesi adalah negara-negara maju yang notabene menganut sistem kapitalis. Krisis finansial global ini ternyata juga menyentuh negara-negara dunia ke-tiga, walaupun dampaknya tidak separah negara-negara maju.Seperti yang terjadi di Indonesia. Sektor yang paling besar dampaknya dari krisis finansial global adalah sektor ekspor-impor.

Menurunnya daya beli konsumen di negara-negara tujuan ekspor, membuat permintaan akan barang ekspor menurun. Selain itu sektor keuangan juga digoncang dengan terjunnya IHSG sampai 50% dari awal tahun 2008 dan rupiah yang sempat melemah sampai batas psikologis di Rp12.000,00. Melemahnya kedua sektor tersebut disinyalir akan berdampak pada menurunnya potensi pendapatan negara.

Tidak bijaksana rasanya bila kita meyakini bahwa krisis finansial yang melanda Amerika Serikat (AS) tidak akan memengaruhi ekonomi Indonesia. Kurang rasional pula kalau kita mengabaikan begitu saja perkembangan terakhir krisis finansial di AS, yang dampaknya sudah dirasakan dampaknya di dataran Eropa. Setidaknya ada tiga alasan mengapa hal ini saya tekankan.

Pertama, Indonesia menganut ekonomi terbuka. Bahkan dalam liberalisasi permodalan, Indonesia tergolong negara yang sangat liberal dibandingkan negara-negara di Asia, termasuk Jepang dan Korea Selatan, dua negara yang lebih kapitalis ketimbang Indonesia. Dengan demikian, setelah kejadian di AS, para investor asing yang menanamkan modalnya melalui surat-surat berharga di Jakarta Stock Exchange tentu akan mengambil posisi mengamankan investasinya, dengan menjual saham-saham mereka di pasar modal. Hal ini terlihat dari nilai Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang terus menurun. Ini berarti ada cash out flow cukup besar, yang bila didiamkan akan merugikan ekonomi nasional.

Kedua, sejauh ini belum diketahui secara pasti berapa investasi yang ditanamkan orang per orang serta lembaga-lembaga keuangan dari Indonesia di New York Stock Exchange (NYSE). Baru ada beberapa bank yang mengakui menanam modalnya di pasar saham AS. Tetapi saya meyakini, banyak investor Indonesia yang memiliki surat berharga dari lembaga-lembaga keuangan AS yang bangkrut akibat imbas kredit macet perumahan di AS. Dana mereka tentu saja menjadi insolven, atau tak bisa ditarik begitu saja, meski Kongres telah menyetujui usulan Menteri Keuangan AS untuk mem-bailout kerugian pasar saham tersebut senilai 700 miliar dolar AS. Sebab dana sebesar itu tidak begitu saja dikucurkan, masih ada prasyarat untuk pencairannya.

Ketiga, dalam struktur ekspor Indonesia, AS adalah pasar utama produk- produk Indonesia. Sekitar 20 persen dari total ekspor Indonesia diarahkan ke Negeri Paman Sam, dan 30 persen ke Eropa. Beberapa industri tekstil dan produk tekstil yang pasar utamanya ke AS sudah mulai mengeluh, karena banyak permintaan dari pembeli untuk menjadwalkan kembali pengiriman barangnya, bahkan menunda pembelian. Jelas sekali, jika ekspor menurun dan impor Indonesia tetap, akan terjadi defisit yang mau tidak mau akan menurunkan cadangan devisa. Meskipun demikian, tidak pas pula apabila muncul kekhawatiran berlebihan dari pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat Indonesia terhadap situasi ini, sehingga tidak mempercayai kemampuan kita sendiri.

Akibatnya, kebijakan yang diambil bukan berorientasi memperkuat kemampuan ekonomi bangsa, tetapi semata-mata untuk menjaga kenyamanan investor-investor asing agar tidak menarik dananya dari Indonesia dengan menerapkan kebijakan moneter yang ketat. Kebijakan ini justru bisa menjadi bumerang yang membahayakan pertumbuhan ekonomi dan aktivitas ekonomi riil.

Karena itu, kita mesti menyikapi krisis keuangan AS secara proporsional, karena peristiwa seperti ini akan terus berulang dan akan selalu dihadapi Indonesia yang notabene telah menjadi salah satu bagian kecil ekonomi global. Dengan cara ini, kita akan mampu mengambil langkah-langkah profesional, meminimalkan dampak krisis keuangan AS yang sudah mengimbas menjadi krisis global tanpa merugikan ekonomi nasional. Yang terpenting adalah membiasakan diri menghadapi dampak krisis global.

2.1.1. Persamaan Moneter Indonesia Tahun 1998 Dan 2008

Banyak analis mengatakan, krisis 1997 yang diawali dari terjun bebasnya nilai tukar bath (Thailand), kemudian merembet ke Indonesia, Korea Selatan, Filipina, dan Malaysia merupakan krisis moneter tipe baru yang dapat melahirkan teori baru pula. Karena, faktor-faktor penyebab krisis tidak relevan dengan teori yang ada. Berdasarkan model klasik Krugman (1979), yang berbasis pada krisis ekonomi di Meksiko tahun 1976, serta Argentina, Brazil, Peru, dan Meksiko pada awal tahun 1980, krisis moneter terjadi karena defisit anggaran yang terus membesar, sehingga mengurangi cadangan devisa dan kegagalan exchange rate. Sepanjang 1990-1996, baik Indonesia, Thailand, Filipina, Malaysia, dan Korea Selatan telah melaksanakan kebijakan fiskal dan moneter yang cukup hati-hati, sehingga kinerja keuangannya menunjukkan perkembangan positif.

Diantaranya defisit anggaran tergolong moderat (bahkan khusus 1996, Indonesia, Korea dan Thailand tidak defisit), perbandingan utang publik terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) juga rendah, tingkat inflasi terjaga dan rendah, serta cadangan devisa terus meningkat. Karena itu, pada awal jatuhnya nilai tukar bath, Menteri Keuangan (saat itu Marie Muhammad) berulang kali mengatakan kepada media bahwa fundamental ekonomi kita kuat, sehingga tidak akan terpengaruh oleh krisis Thailand. Namun pada akhirnya, Indonesia justru merasakan dampak krisis Thailand yang paling parah ketimbang empat negara lainnya. Sekarang, Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Gubernur BI Budiono mengatakan hal yang hampir sama secara substansial dengan apa yang dikatakan Marie Muhammad. Setidaknya, kinerja ekonomi nasional saat ini adalah yang terbaik setelah 10 tahun krisis moneter. Kinerja ekspor nonmigas sudah menembus angka 50 miliar dolar AS, serta selalu surplus setiap bulan.

Cadangan devisa per Agustus 2008 mencapai 59,6 miliar dolar AS. Pertumbuhan ekonomi sampai akhir 2008 diperkirakan melampaui 6 persen, dan tingkat inflasi diharapkan tidak lebih dari 11,5 persen. Tingginya tingkat inflasi tahun ini lebih banyak disebabkan cost push inflation, akibat naiknya harga BBM bulan Mei lalu. Dari data tersebut, setidaknya kita meyakini satu hal, bahwa tanpa adanya gejala-gejala krisis bukan berarti Indonesia akan terhindar dari krisis. Krisis 1997 memberi pelajaran berharga agar kita lebih waspada. Lalu, patutkah kita lebih optimistis untuk mengatakan bahwa kita sekarang sudah lebih dewasa dan lebih mampu mengelola krisis?

2.1.2. Perbedaan Moneter Indonesia Tahun 1998 Dan 2008

Pengaruh krisis finansial AS sudah pasti akan dirasakan Indonesia; tinggal menghitung tingkat kesakitannya, apakah sama atau berbeda dengan tahun 1997. Andai kondisi ekonomi Indonesia, baik sistem maupun strukturnya, masih mengikuti pola sebelum 1997, mungkin saja akan lahir efek contagion jilid dua, yang akan membawa kembali negeri ini ke dalam nestapa krisis moneter. Tetapi yang saya yakin, dan harus didukung kuat oleh masyarakat Indonesia, kebijakan ekonomi Indonesia sudah berbeda dengan masa lalu.

Pertama, nilai tukar rupiah sudah diserahkan pada mekanisme pasar (floating rate), tidak lagi menganut nilai tukar mengambang terkendali yang membuat BI harus terus melakukan intervensi pasar guna menjaga agar nilai tukar rupiah tetap berada pada kisaran yang sudah ditetapkan. Sesuai dengan UU, Bank Indonesia berkewajiban menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, namun tidak dipaksa menjaga pada nilai tukar tertentu, sehingga BI tidak harus bolak-balik intervensi ke pasar uang.

Kedua, tingkat cadangan devisa Indonesia sudah sangat memadai. Jika akhir 2007 masih 17 dolar AS, per Agustus 2008 sudah mencapai 59,6 miliar dolar AS. Cadangan devisa negara membantu pemerintah mengelola risiko yang harus dihadapi, dan memperkuat keyakinan terhadap negara maupun mata uangnya. Makin besar cadangan devisa negara, kian kuat pula negara dalam mengelola risiko yang sedang dihadapinya. Dan Ketiga, sistem perbankan nasional dewasa ini sudah dibentengi dengan berbagai aturan. Belajar dari banyaknya moral hazard yang terjadi sebelum krisis moneter 1997, BI telah menerbitkan berbagai aturan dalam pengelolaan bank.

Dengan demikian, kecil peluangnya bagi pemilik untuk menggunakan dana masyarakat bagi kepentingan bisnisnya. Pemilik pun tidak bisa semau gue dalam menentukan pengurus bank Pengawasan oleh BI terhadap operasional bank terbilang sangat ketat, sehingga kecurangan-kecurangan yang dilakukan manajemen bank cepat terdeteksi. Adanya Sistem Informasi Debitur (SID) yang memungkinkan BI mengetahui identitas debitur seluruh bank dan memungkinkan bagi manajemen bank untuk tidak dikelabui debitur, sangat membantu dan mendorong semakin mantapnya perbanan nasional.

Hanya saja yang membedakan dengan krisis 1997 adalah bahwa hubungan dagang Indonesia dan Thailand sangat kecil, sedangkan hubungan dagang Indonesia dan AS sangat besar. Menurut teori, saat terjadi krisis dari salah satu negara jelas akan berdampak besar pada perekonomian negara yang menjadi mitra dagangnya. Tampaknya, teori ini tak akan terbukti kalau seluruh masyarakat mempercayai kebijakan yang diambil pemerintah. Sebab, saat krisis 1997 mendera ekonomi nasional, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan sistem ekonomi nasional sangat rendah. Saat Menteri Keuangan meminta masyarakat untuk tenang, justru direspon masyarakat dengan berlomba-lomba menukar rupiahnya dengan dolar AS.

Karena itu, saya percaya, apapun bagusnya sistem yang dikembangkan, kalau tanpa dukungan kepercayaan masyarakat, maka sistem tersebut akan menjadi hampa. Sekarang pun saya percaya, ekonomi kita akan tetap tegar menghadapi krisis keuangan global, jika masyarakat percaya sepenuhnya dengan kekuatan ekonomi nasional.

2.2. Solusi Mengatasi Krisis Global

Krisis finansial kali ini memang berbeda dengan krisis moneter yang melanda Indonesia dan negara Asia pada tahun 1998. Namun, dengan adanya pelemahan ekonomi global pada tahun 2009 nanti, Indonesia diharapkan dapat bisa mengeleminasi dampak-dampak dari kondisi tersebut.

a. Sektor Keuangan

Banyak cara yang dapat dilakukan pemerintah dan bank sentral dalam menangani masalah sektor keuangan. Peran Bank Indonesia disini lebih besar terutama dalam membuat kebijakan-kebijakan yang dapat menstabilkan kondisi sektor keuangan. Kebijakan-kebijakan tersebut dapat berupa penurunan suku bunga. Penurunan suku bunga diharapkan akan memacu usaha melalui penyaluran kredit. BI juga harus dapat menjaga likuiditas perbankan.

Hal ini dilakukan untuk menjaga kepercayaan nasabah agar tidak terjadi kepanikan akan keringnya likuiditas perbankan. BI juga harus dapat mempertahankan kurs rupiah terhadap US dollar. Walaupun, masih sulit untuk kembali ke level Rp9.000,00, setidaknya rupiah tidak lagi meroket seperti yang terjadi sebelumnya. Memang cukup dilema dalam mempertahankan nilai kurs ini. BI harus menggunakan cadangan devisa hampir 10% guna menstabilkan nilai rupiah.

Tindakan lain yang dapat dilakukan BI adalah dengan tindakan preventif seperti pembatasan keluarnya uang ke luar negeri. Misalnya, dengan mebatasi keluarnya uang sebesar 100.000 US$ per tahun. Dan memberlakukan NPWP bagi masayarakat yang ke luar negeri.

b. Sektor Perdagangan

Diantaranya, dengan membatasi pintu masuk transaksi internasional, memberikan perlindungan bagi pelaku usaha, dan pemberdayaan bagi UKM. Pemerintah yang mengumumkan tahun 2009 adalah sebagai tahun ekonomi kreatif merupakan sinyal positif untuk meningkatkan kegitan ekonomi, khususnya sektor yang berbasis UKM.

Selain itu dengan membuat iklim usaha yang baik akan mendukung kemajuan ekonomi. Mengingat selama ini, Indonesia masih merupkan negara yang tergolong sulit dalammenciptakan usaha baru karena adanya hambatan regulasi maupun birokrasi.

c. Sektor Properti

Pada sektor properti dapat dilakukan dengan mengoptimalisasi pajak dari kepemilikan saat ini. Selain itu, langkah dalam mempercepat kebijakan tentang kepemilikan apartement bagi warga negara asing juga harus dilakukan.

Mengingat dengan kebijakan tersebut maka mobilitas para pelau usaha akan semakin mudah dan nantinya berujung pada efisiensi. Yang perlu dicermati dalam sektor properti adalah masalah pembangunan properti yang semakin marak. Pemerintah diharapkan lebih selektif terhadap developer-developer yang ada. Mengingat tahun depan perekonomian akan melemah, jadi permintaan akan properti juga akan mengikuti kondisi tersebut. Tentunya kita tidak ingin bernasib sama dengan apa yang terjadi pada Amerika saat ini.

d. Sektor Perkebunan dan Pertanian

Untuk masalah sektor perkebunan dan pertanian, pemerintah dapat melakukan cara dengan membeli hasil produksi sesuai dengan harga yang wajar sebagai stock.

Misalnya, dengan membeli hasil produksi padi pada harga tertentu di saat panen yang akan digunakan sebagai cadangan beras bulog. Nantinya stock tersebut akan digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong produksi, sehingga ketergantungan akan barang impor dapat dikurangi.

e. Sektor TenagaKerja

Diantaranya adalah dengan menyamakan visi antara pengusaha dan pekerja. Pihak-pihak pekerja harus dapat memaklumi bahwa tahun depan akan terjadi pelemahan ekonomi, sehingga secara langsung atau tidak langsung akan berdampak pada kegiatan perusahaan.

Selanjutnya pekerja juga diharapkan dapat memahami peraturan-peraturan yang dikeluarkan pemerintah. Pekerja jangan terlalu skeptis akan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah karena setiap kebijakan yang dikelurkan sudah tentu mempertimbangkan segala aspek dan kepentingan tanpa cenderung berpihak pada satu golongan saja . Memang tahun depan diperkirakan akan banyak terjadi PHK massal. Namun, momen inilah yang tepat untuk menunjukkan keberadaan peran dari Jamsostek.

f. Sektor Pariwisata

Hal yang lumrah dilakukan pada sektor ini adalah dengan mengoptimalkan sektor parawisata domestik. Tahun 2008 yang mengusung tema ³Visit Indonesia 2008 memang terasa tidak terlalu optimal.

Inilah peran pemerintah agar dapat menarik wisatawan domestik untuk lebih memilih temapt-tempat wisata domestik ketimbang pergi ke luar negeri. Tentunya dengan memperbaiki sistem dan infrastruktur dari setiap parawisata agar terlihat menarik bagi wisatawan. Potensi parawisata kita sangatlah besar. Kita masih dapat menggali banyak potensi- potensi yang ada untuk meningkatkan pendapatan negara.

2.3. Kebijakan Jangka pendek

1. Pemulihan kepercayaan kepada perekonomian dalam negeri serta didukung oleh perbaikan sistem distribusi dan pemulihan kapasitas produksi. Thailand dan Korea adalah dua negara lain di samping Indonesia yang dalam waktu hampir bersamaan mengalami krisis serta meminta bantuan IMF. Sementara kedua negara tersebut sudah melihat light at the end of the tunnel, Indonesia tampaknya masih harus bersabar lebih lama. Salah satu faktor penting keberhasilan tersebut ialah kedua negera tersebut berhasil memulihkan kepercayaan baik terhadap investor dalam maupun luar negeri. Oleh karena itu, Indonesia juga harus berusaha keras untuk memulihkan kepercayaan dengan memenuhi keinginanst ak e hol de rs melalui pendekatan OUI (outward, upward, dan inward) seperti yang dilakukan Thailand (Watanagase, 1998).9 Pemulihan kepercayaan juga dapat dibantu dengan melobi lembaga pemeringkat internasional, misalnya dengan meminta agar Indonesia tidak dimasukkan dalam kategori negative watch. Dengan pulihnya kepercayaan, nilai tukar akan menguat karena sentimen pasar positif dan terjadi capital inflow sehingga rupiah menguat dan tekanan inflasi mereda. Dengan demikian, suku bunga dapat diturunkan ke tingkat yang wajar.

2. Pelaksanaan restrukturisasi perbankan sesuai jadwal akan membantu menurunkan suku bunga melalui dua mekanisme sebagai berikut.Pe rt ama, keharusan untuk menutup bank insolven dan meningkatkan permodalan bank akan mengurangi permintaan dana di PUAB oleh bank-bank tertentu yang secara struktural mengalami kekurangan likuiditas.K edua, dengan dilikuidasinya bank-bank tersebut maka BLBI akan dapat dibatasi sehingga pertumbuhan uang beredar akan terkendali. Dengan demikian, laju inflasi akan menurun dan suku bunga bisa diturunkan.

3. Pelonggaran GWM akan memberi dua keuntungan, yaitu dapat membantu mengurangi kesulitan likuiditas perbankan sehingga dapat mengurangi permintaan rupiah di PUAB sehingga suku bunga akan menurun dan dengan demikian cost of fund perbankan turun sehingga dapat mengurangi negative spread yang ditanggung perbankan.10 Namun, penurunan GWM ini harus dilakukan dengan hati-hati dengan mempertimbangkan jumlah uang beredar.

4. Pencairan bantuan luar negeri dalam rangka membiayai APBN dengan segera. Berdasarkan kesepakatan dengan kreditor resmi, dalam tahun anggaran 1998/99 Pemerintah memperoleh pinjaman luar negeri sebesar $ 7,7 miliar untuk membiayai defisit APBN sebesar Rp 83,1 triliun (uraian lebih lanjut lihat Catatan Akhirii ). Dari penarikan pinjaman tersebut, di satu pihak akan memperkuat cadangan devisa karena akan langsung ditempatkan di Bank Indonesia sementara pemerintah menerima nilai lawan dalam rupiah. Di lain pihak, pengeluaran rupiah dari Bank Sentral ke dalam perekonomian akan mendorong peningkatan inflasi karena perannya dalam jumlah uang beredar mencapai 48%. Oleh karena itu, dalam hal ini diperlukan koordinasi kebijakan antara sektor moneter dan fiskal agar inflasi tetap terkendali.

5. Intervensi di pasar valas merupakan salah satu bentuk koordinasi dengan kebijakan fiskal karena dapat menyerap kembali tambahan likuiditas dari penarikan dana Pemerintah dari Bank Sentral. Intervensi di pasar valas masih dimungkinkan dengan pertimbangan bahwa nilai tukar rupiah saat ini masih undervalued. Berdasarkan perhitungan PPP, nilai tukar yang mencerminkan fundamental perekonomian adalah sekitar Rp 6.500 per dolar (lihat Grafik 4) sementara saat ini kurs rupiah berkisar antara Rp 8.000 - Rp 9.000. Dengan intervensi yang efektif akan diperoleh tiga keuntungan, yaitu: (i) rupiah akan menguat; (ii) likuiditas perekonomian tetap terkendali; dan (iii) suku bunga tidak perlu meningkat karena rupiah terserap kembali ke Bank Sentral bukan melalui mekanisme SBI sehingga tidak memberatkan sektor perbankan dan sektor riil. Namun, intervensi perlu dilakukan pada saat yang tepat karena adanya keterbatasan cadangan devisa. Intervensi sebaiknya dilakukan pada saat sentimen pasar membaik untuk memperkuat tekanan kearah penguatan (leaning with the wind) dan bukan pada saat sentimen pasar sedang memburuk.

6. Selective credit policy sebagai jalan keluar sementara karena suku bunga tidak bisa diturunkan secara drastis sekaligus. SCP dapat memperkecil kontraksi dengan mengamankan sektor-sektor tertentu yang tidak tergantung pada bahan baku impor, cepat menghasilkan, mengurangi impor, dan bersifat padat karya. Dengan demikian selain dapat mengurangi kebutuhan devisa untuk impor, SCP juga dapat mengurangi kemiskinan dan pengangguran dan sekaligus meningkatkan stabilitas sosial politik sehingga dapat membantu meningkatkan kepercayaan investor baik dalam maupun luar negeri.

7. Penyelesaian utang luar negeri swasta melalui Frankfurt agreement akan dapat membantu mengurangi tekanan terhadap nilai tukar karena kebutuhan valas saat ini dapat dikurangi disamping dapat membantu memulihkan kepercayaan luar negeri terhadap perekonomian Indonesia. Penyelesaian utang sektor swasta melalui Prakarsa Jakarta juga dapat membantu mempercepat pemulihan perekonomian Indonesia karena akan dapat membangkitkan kembali kegiatan ekonomi sehingga prospek perekonomian akan membaik.

8. Penerbitan SBI valas dapat dipertimbangkan untuk menarik aliran modal luar negeri dalam valas dengan biaya yang lebih rendah daripada penerbitan SBI. Namun, aspek hukum dari penerbitan SBI valas ini perlu diteliti lebih lanjut. Menurut ABN Amro Bank, SBI valas dengan jangka waktu 1 bulan feasible untuk diterbitkan dengan suku bunga 8% di atas LIBOR (5,7%) sehingga beban bunga Bank Sentral jauh lebih rendah daripada penerbitan SBI dengan bunga yang sangat tinggi (sekitar 70% SBI 1 bulan per September 1998). Bunga yang sangat tinggi ini justru bisa menurunkan kepercayaan karena investor akan mempertanyakan sampai berapa lama Bank Sentral mampu membayar bunganya di samping adanya penambahan likuiditas baru yang berasal dari bunga SBI.

9. Dalam mengelola krisis, langkah yang diterapkan Thailand ialah; (i) problem identification; (ii) OUI environment; (iii) problem resolution; dan (iv) action plan strategy. Khusus mengenai OUI environment, pendekatan yang dilakukan ialah berusaha memenuhi harapan stakeholders yang dapat dikategorikan outward (masyarakat, rating agency, dunia usaha, sektor keuangan, dll), upward Parlemen, kepala negara, politikus); dan inward karyawan, organisasi intern) 10. Note; per 30 Agustus 1998, dengan GWM 5% jumlah cadangan wajib adalah Rp 18,9 triliun. Penurunan manjadi 4% akan menambah likuiditas perbankan = Rp 18 triliun - (4/5 x Rp 18,9 triliun) = Rp 3,8 triliun atau 34,9% dari transaksi harian PUAB sebesar Rp 10,9 triliun ( Jeffry Sachs.1998, hal.)

2.4. Kebijakan jangka menengah-panjang

1. Pembatasan kewajiban luar negeri baik sektor pemerintah maupun swasta terhadap kreditor luar negeri dalam berbagai bentuk baik berupa pinjaman maupun surat-surat utang lainnya, seperti CP, MTN, dan FRN. Dalam hal ini pemerintah perlu menetapkan ukuran tertentu untuk membatasi eksposur terhadap luar negeri, misalnya dengan menggunakan nisbah (CA - FDI)/GDP (lihat Djisman Simandjuntak, 1998). Semakin besar nisbah tersebut semakin rentan BoP karena sebagian besar defisit current account dibiayai investasi portfolio yang mudah berbalik arah. Agar efektif pembatasan tersebut, semua pihak yang mempunyai kewajiban kepada pihak luar negeri wajib menyampaikan laporan secara berkala. Selain itu, untuk meningkatkan kehati- hatian di sektor eksternal, pada tabel BoP perlu ditambahkan memorandum item berupa data outstanding pinjaman pemerintah dan swasta karena sistem pencatatan data pada BoP adalah didasarkan atas konsep mutasi (flow) sehingga tidak terlihat besarnya eksposur terhadap non-residen.

2. Kewajiban menempatkan capital inflow jangka pendek di Bank Sentral selama satu tahun dengan persentase tertentu tanpa imbalan dapat dipertimbangkan untuk mengurangi Pengertian kebijakan jangka menengah-panjang ini bukan berarti kebijakan yang semuanya akan ditempuh pada jangka menengah- panjang. Sebagian kebijakan tersebut sudah dilaksanakan tetapi hasilnya baru tampak pada jangka menengah-panjang dan sebagian lainnya akan lebih tepat untuk dilaksanakan kemudian. investasi yang hanya mencari keuntungan dari arbitrase dan tidak bermanfaat bagi perekonomian dan mendorong peningkatan arus modal yang berjangka lebih panjang yang lebih bermanfaat bagi perekonomian. Kewajiban seperti ini telah lama diterapkan di Chile dengan mengenakan reserve requirement sebesar 30% selama satu tahun atas aliran modal masuk.

3. Penyesuaian struktural di sektor riil melalui deregulasi, penghapusan monopoli, perbaikan sistem distribusi akan dapat meningkatkan efisiensi dan mengurangi gejolak di sektor riil yang sering memicu inflasi. Peningkatan efisiensi produsi sektor pangan ²dengan mempertahankan terms of trade yang lebih menguntungkan bagi petani ² akan dapat meningkatkan ketahahan perekonomian.

4. Di tingkat regional, perlu dibentuk semacam regional surveillance untuk memelihara stabilitas kawasan mengingat bahwa krisis ekonomi di Asia semula merupakan contagion effect dari krisis nilai tukar Thailand, walaupun faktor domestik juga mempunyai peranan penting dalam terjadinya krisis.

5. Di tingkat internasional, investor internasional, seperti institutional investor dan hedge fund yang sifatnya sangat volatile dan cenderung memiliki sifat herd behavior, perlu ditetapkan suatu lembaga yang mengatur kegiatan mereka agar investasinya di negara-negara berkembang dapat bermanfaat bagi perekonomian dan bukan sebaliknya malah menimbulkan instabilitas. Lembaga tersebut dapat diwajibkan untuk memonitor kegiatan invesor internasional dan menyampaikan laporan berkala ke semua negara agar negara- negara penerima dana senantiasa mengetahui eskposurnya terhadap investor asing.

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Dari uraian pembahasan diatas maka dengan demikian dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

· Krisis moneter yang dialami indonesia pada tahun 1998 dan tahun 2008 merupakan krisis ³kiriman´ dari luar negeri dan bukan berasal dari dalam negeri.

· Perbedaan krisis moneter 1998 dengan krisis tahun 2008 terletak pada dampak yang dialami indonesia dan kebijakkan yang dikeluarkan digunakan oleh pemerintah untuk mengatasi kedua krisis tersebut.

· Dalam mengatasi dan meminimalisir dampak krisis moneter tersebut pemerintah menguapayakan solusi penyelesaian langsung kesektor-sektor ekonomi. Selain itu juga pemerintah mengeluarkan kebijakkan dalam jangka pendek dan menengah - panjang.

DAFTAR PUSTAKA

Sumber:http://suaramerdeka.com/smcetak/index.php?fuseaction=beritacetak.detailberitacetak&id_beritacetak=34038

Arifin, Sjamsul : Kepala Bagian Studi Ekonomi dan Lembaga Internasional, UREM, BI, Email :s ja ms ul_a @bi. go. id

Tidak ada komentar: